TEARS OF SADNESS”
karya : Zaida Syakira
“Cepat!, kita harus bergegas pergi dari sini sebelum pasukan Israel kembali menjatuhkan bomnya di sekitar ini. Bawa saja barang yang diperlukan!.”
“Baik bu, apakah ibu akan mengungsi di pos pemadam kebakaran? Apakah tidak berbahaya di sana?”
“Insyaallah tidak. Cepat bawa adikmu! Kalian lebih baik berlindung di dekat gunung saja! Di sana lebih aman.”
“Tapi bu, tidakkah lebih baik kita pergi bersama saja? Bukankah ibu katakan di sana lebih aman?”
“Kalau ibu pergi kesana, kaki ibu tidak kuat untuk pergi terlalu jauh. Bisa-bisa kita berhenti di tengah jalan. Dan itu bisa memperburuk keadaan. Cepat bergegaslah! Sebelum semuanya terlambat!”
Wanita tua yang ku panggil Ibu itu langsung menyodorkan tas plastik kecil kepadaku.
“Ini bekal kalian di perjalanan”
Lalu, Ia mengecup kening anak bungsunya, Aisyah
“Jaga dirimu baik-baik ya nak! Dengarkan kakakmu! Jangan membantah!” ucapnya sambil tersenyum.
Adikku yang masih berumur tiga tahun itu hanya manggut-manggut saja. Seperti tak rela berpisah dengan Ibu.
“Bom akan dijatuhkan dalam lima menit lagi.” Terdengar teriakan orang-orang dari luar.
“Cepat bergegaslah nak!”
Masyarakat di desa kami mulai panik dan berlarian setelah mendengar bom akan segera dijatuhkan. Masing-masing sibuk mencari tempat berlindung. Suasana pun kian terasa menegangkan.
“Hosh…hosh…hosh…” dadaku naik turun. Lalu aku menurunkan adikku yang sedari tadi kugendong di pundakku.
“Kita sudah sampai.”
“Kak, aku mau sama ibu.” Rengek adikku yang bernama Aisyah.
“Tenanglah! Sebentar lagi kita akan bertemu dengan ibu.” Aku pun berkata sambil mengelus puncak kepalanya.
Hari sudah mulai gelap,suasana juga terlihat sangat sepi hanya menyisakan suara hewan malam yang saling bersahutan. Aisyah sudah tertidur di pundakku. Aku pun bergegas pergi ke pos pemadam kebakaran untuk menemui Ibu. Aku berlari dan terus berlari hingga sampai ke desa. Langkahku pun terhenti. Tubuhku seketika melemas.
Setelah melihat apa yang terjadi di hadapanku. Desa yang dulu ramai, damai, indah, dan pepohonan menghias dimana-mana, kini hanya tinggal abu hitam yang berterbangan. Dan semuanya rata tanpa sisa, mayat-mayat tergeletak dimana-mana. Hatiku sakit melihat hal ini semua.
“Apa yang orang-orang itu lakukan? Sungguh tak punya hati. Semoga Allah membalas perbuatan mereka” ku menggurutu didalam hati.
Aku teringat dengan ibuku, aku berlari kembali ingin menjumpai ibuku. Sesampainya di sana, bangunan besar itu tidak ada lagi. Semua sama saja,rata. Keringat dinginku mulai bercucuran.
“Dimana Ibu? Bagaimana keadaan Ibu?”
Aku tersungkur lemah. Tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku dari balik punggungku.
“Hafsah!”
Aku tersentak. Seperti suara ibu, pikirku. Aku pun cepat-cepat berbalik.dan ternyata dia adalah bibiku.
“Ya, ada apa bi?”
“Apakah kau telah mengetahui kabar tentang Ibumu?”
“Belum, bagaimana dengan ibuku?” kataku mendesak.
“Dia sudah pergi, takkan kembali lagi.”
Aku sontak terkejut. Tak terasa sebulir air mataku jatuh dan akhirnya terus mengalir deras. Sempat kulirik adikku, untung saja dia masih tertidur dan dia tidak boleh mengetahui hal ini.
Hingga pada suatu hari ia bertanya kepadaku,
“Kak,kenapa ibu tak kembali?”
“Ibu pergi jauh”
“Apakah ibu akan pergi lama?”aku terdiam,tak menjawab. Setiap kali ia bertanya, aku selalu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Semenjak ibu pergi, kami tinggal di rumah bibi. Hari-hari berlalu menyakitkan. Kami dipaksa kerja, mengambil air ke gunung, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Kami hanya diberi makan dua kali sehari. Bahkan bibiku meminta bayaran, alasannya uang tak mencukupi untuk membiayai hidup kami. Akhirnya aku terpaksa menjual baju-baju bekas milik ibuku. Tapi Aisyah malah berteriak menangis tak mengizinkan baju-baju itu untuk dijual.
Selain itu, aku juga selalu mengirim surat kepada Ayahku. Tapi dia tak pernah membalasnya. Biasanya setiap sebulan sekali dia akan pulang. Dan minggu depan Ayahku akan kembali seperti biasanya.
Hari ini biasanya Ayahku akan kembali kesini. Apakah Ayah telah membaca suratku? Apakah Ayah telah mengetahui bagaimana kabar Ibu? Hari ini aku menunggu kedatangannya. Bibi menyuruhku pergi kepasar untuk membeli bahan makanan. Lalu aku mendengar keributan di sebuah toko.
“Telah terjadi badai besar di laut selatan, seluruh pelaut dinyatakan hilang. Akan tetapi beberapa korban telah ditemukan yaitu….” Nama-nama itu disebutkan satu persatu, dan salah satunya adalah….. Ayahku. Jantungku seakan berhenti berdetak.
“Ayahku, ayah, ayah, ayah.” Kata itu terus terulang di benakku
“Ayahku telah tiada”
Semakin hari cobaan semakin banyak. Emas bibiku dicuri dan mereka menuduh kami yang melakukannya, hingga akhirnya kami pun diusir dari sana.
Kami sempat terluntang-luntang hingga akhirnya kami menemukan tempat tinggal yaitu sebuah gubuk kecil yang terletak tak jauh dari pinggir hutan. Gubuk itu bahkan tak memiliki lampu sebagai penerang. Setiap malam kami harus menangkap kunang-kunang sebagai penerang di malam hari. Kami jarang mendapatkan makanan, hingga terkadang kami harus mengganjal perut kami dengan rerumputan untuk sekedar mengatasi rasa lapar. Tak jarang kami mengonsumsi sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk dimakan.
Hingga sampai pada hari dimana adikku jatuh sakit. Dokter bilang ini semua karena makanan yang di konsumsinya tidaklah baik baginya yang masih balita. Aku tidak punya uang untuk membeli obatnya. Aku terpaksa mencuri demi adikku, keluargaku yang tinggal satu-satunya. Aku tahu perbuatanku ini salah. Tetapi, semakin hari sakit adikku semakin parah.
“Aisyah, kakak bawakan makanan untukmu, ayo dimakan!”
Dia tak menjawab. Seharian ini hanya berbaring di tempat tidur yang beralaskan tikar kecil.
“Aisyah!”
Kugoncangkan tubuhnya. Dan ternyata….
“DIA TAK PERNAH TERBANGUN LAGI”
Leave A Comment