Oleh : Tina Faradisa (Santri Madrasah Aliyah Insan Qur’ani)
Minggu pagi yang suram, hujan turun dengan derasnya, ditambah dengan hembusan angin yang membuat cuaca semakin dingin, katak-katak berlompatan ke sana kemari menikmati derasnya air hujan. Sedangkan diriku, duduk di teras rumah sambil menikmati secangkir teh yang menghangatkan hati dan pikiran. Seketika, lamunanku terbuyar teringat akan perkataan ayah dan bundaku setahun yang lalu.
“Tahun depan, SMA-nya lanjut di pesantren aja ya,” kata Ayahku. Aku menggeleng.
“Ta…tapi Fara belum siap, Ayah! Kan Ayah tau, Fara anak yang tak mandiri,” ujarku.
“Lagi pun, Fara juga ingin menghabiskan masa-masa SMA di sekolah-sekolah pilihan. di sekolah favorit seperti teman-teman yang lain!” sambungku.
Ayah seperti menimbang sesuatu.
“Baiklah, jika kamu ingin belajar di sekolah-sekolah favorit, ayah akan turuti kemauanmu.”
Mendengar itu, hatiku langsung bersorak ria. Namun,
“Ayah dan Bunda akan mencari sekolah favorit yang berbasis pesantren,” sambung Ayahku.
Aku terkejut, tidak percaya dengan perkataan Ayahku.
“Apakah harus sekolah yang berbasis pesantren Ayah?” tanyaku lemas.
“Iya, dengan sekolah di pesantren, kamu akan menjadi lebih mandiri, disiplin, dan tidak lalai seperti di rumah,” ucap Ayahku lembut.
“Memangnya, Bunda juga udah setuju kalau Fara sekolah di pesantren?”
“Setuju.”
“Tapi Ayah, Fara juga bisa kok jadi mandiri dan disiplin di rumah,” ucapku membujuk. Raut wajah Ayahku langsung berubah.
“Tidak boleh, tetap harus sekolah di Pesantren,” ucap Ayahku tegas.
PRANG!
“Kenapa, nih, ribut-ribut, ya ampuun?” Bundaku datang dengan centongan yang digenggam dan celemek yang masih terikat di pinggang.
“Kalian lihat itu, pecah, kan, piring kesayangan Bunda!” ucap Bundaku sambil menunjuk ke arah dapur.
“’Kan Bunda yang jatuhin piringnya?” tanyaku heran.
“Tidak, piringnya jatuh karena suara kalian besar sekali,” jawab bundaku.
“Duh! Maaf Bunda, yuk Fara belikan piring baru, tapi tahun depan SMA-nya jangan di pesantren ya Bun?” bujukku.
“TIDAK BOLEH!” ucap Bunda dan Ayahku serempak. Seperti inilah bunda dan ayahku, sekali bilang tidak tetap tidak. Tidak pernah ada yang namanya negosiasi.
“Huaaaaa! Tapi Fara belum siap, Ayah, Bunda.”
“Siap, Fara pasti siap. Ayah yakin Fara bisa,” ucap Ayahku yakin.
“Ya sudah, Ayah ke dapur dulu, ya. Mau makan. Dadah,” ucap Ayahku dan langsung menuju ke dapur meninggalkan aku dan bundaku di kamar. Lalu bundaku keluar mengikuti ayahku menuju dapur, meletakkan kembali centongan tadi ke tempat semula, barulah kemudian, bundaku membuka celemeknya dan membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang menempel di bajunya. Setelah selesai, bundaku duduk di sebelahku, di atas kasurku, sambil berkata.
“Sekolah di Pesantren itu, tidak semengerikan seperti yang kamu bayangkan. Bunda juga sudah pernah merasakannya dulu,” kata bundaku.
“Benarkah? Mengapa Fara tidak tahu?”
“Ya iya, dong, Fara tidak tahu, ‘kan Bunda belum pernah cerita.”
“Oh, iya-iya, hehe,” ujarku sambil cengar-cengir.
“Kehidupan pesantren itu, pertama-tamanya memang susah. Pasti ada nangisnya. Semua harus serba sendiri, tanpa orang tua. Dulu ketika bunda masih sekolah seperti kamu, bunda merantau, loh, dari Pidie ke Banda Aceh. Pasti Fara bertanya-tanya, kenapa bunda jauh-jauh kemari hanya untuk sekolah, padahal di kampung halaman bunda juga ada sekolah.” Aku mengangguk.
“Begini ya, Nak, dulu itu di Pidie, sekolah yang ingin Bunda tuju mahal sekali biayanya. Dan kebetulan, terdapat sekolah yang sama dan lebih murah biayanya dibandingkan dengan sekolah yang sebelumnya ingin Bunda tuju,” sambung bundaku.
“Kakek dan Nenek mengizinkan Bunda sekolah di Banda Aceh?” tanyaku penasaran.
“Iya, dong. Bahkan sebelum Bunda berangkat, Kakek dan Nenek juga pernah bilang begini: baik-baik ya di sana, tuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Semoga cita-citamu tercapai, Nyanyak dan Ayah akan senantiasa mendoakanmu,” ungkap Bundaku.
Jujur, Aku baru kali ini mendengar Ibundaku bercerita sepanjang ini. Biasanya, bunda pasti sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit dan di rumah. Iya, rumah sakit. Bundaku berhasil menggapai cita-citanya menjadi perawat. Tapi terkadang, aku merasa kasihan melihat Bundaku kerja setiap harinya. Bekerja siang dan malam, mencuci, memasak, menjaga aku dan adik-adikku, dan sebagainya. Dan Ayahku, adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Mungkin, karena ini aku menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, turun dari Ayahku. He he he. Dan di samping pekerjaannya sebagai guru, ayahku juga menjadi bendahara sekolah selama ini. Jarang di rumah, sibuk, bepergian ke sana kemari, dan aku memaklumi semua itu. Toh, semua itu juga demi anak-anaknya.
“Bunda, bagaimana kehidupan pesantren itu, apakah mengerikan sekali?” tanyaku penasaran.
“Sangat menyenangkan, dari situ kita bisa tahu bagaimana rasanya tanpa orang tua, hidup mandiri, tidak bisa bergantung pada orang lain, harus bangun cepat setiap harinya, dan belum lagi hukuman dari kakak-kakak kelas.”
“Hah? Hukuman?” tanyaku terkejut.
“Iya, hukuman.”
“Bunda pernah dihukum?”
Bundaku terlihat seperti sedang memikir. “Hmm, pernah, dong.”
“Hukuman seperti apa, Bunda?” tanyaku penasaran.
“Bunda tidak mengingatnya lagilah, Nak, itu sudah lama sekali,” ungkap bundaku.
“Yang Bunda ingat, Bunda pernah menertawakan orang karena dihukum. Jahat sekali, kan?” kata Bundaku sambil menyengir.
Ternyata, kebiasaan bundaku memang dari dulu begitu. Suka sekali menertawakan orang, aku saja yang terpeleset jatuh ke lantai, ditertawakan dulu oleh bundaku baru kemudian ditolong dan diobati. Begitulah bundaku.
“Ih, Bunda kan memang selalu begitu,” ujarku.
“Sudah-sudah, yang terpenting mulai sekarang, kamu harus belajar lebih giat lagi untuk persiapan ujian masuk sekolah tahun depan,” ucap bundaku menasehati.
“Jikalau fara tidak mau bagaimana?” gurauku.
“Harus mau! Tidak boleh ada kata tidak mau.”
“Iya, Ibundaku tersayang, Fara hanya bergurau,” kataku.
“Bunda yakin, kok, Fara pasti bisa. yang terpenting ada usaha,” ujar bundaku meyakinkan.
“Oke, Bunda,” jawabku bersemangat.
***
Waktu pun terus bergerak.
Dan akhirnya, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan aku bisa menerima kenyataan itu. kenyataan yang sudah ditetapkan oleh kedua orangtuaku. Ya, walaupun kadang-kadang aku masih tidak percaya dan tidak terima akan kenyataan itu terhadap hidupku. Namun mau bagaimana lagi, mungkin keinginan orangtuaku ini, adalah jalan yang terbaik untuk hidupku.
“Faradisaaaa”
Deg! Aku terkejut, pikiran dan lamunanku bertabrakan mendengar jeritan bundaku dari arah dapur.
“Iya, Bundaaaa”
“Ayo berangkat, hujan udah reda.”
Aku berbalik, melihat ayahku sudah berada di halaman depan rumahku, dengan barang yang sudah diletakkan di bagasi, dan dengan penampilan yang bersih dan rapi. Aku berpikir, apakah aku melamun terlalu lama hingga ayahku yang sedang membereskan barang yang akan dibawa pun aku tidak sadar?
“Tunggu Ayah, fara ke dalam dulu ya panggil bunda” ucapku. Aku bangun dari posisi dudukku, dan langsung memasuki rumahku.
“Bilang sama Bunda jangan lama-lama dandannya, nanti hujan lagii!” ucap Ayahku berteriak.
“Iya, Ayaahh” jawabku.
Aku menjelajahi bagian dalam rumah, mencari bundaku.
“Bundaaaa, Bunda dimanaaa?”
“diDsiniii di dapuurr.”
“Yaampuun, Bunda ngapain masih di dapur?” tanyaku heran.
Dan, baru beberapa langkah aku menuju dapur, bundaku datang dengan membawa banyak sekali makanan.
“Yuk, berangkat”, ajak bundaku dengan polosnya.
“Bunda kenapa banyak sekali bawa makanan?”
“Ini untuk makanan sampinganmu di Pesantren sayang,” ujar bundaku.
“Ooh, he-he,” ucapku cengar-cengir.
“Fara, Bunda udah siaap?? Ayoo berangkaat,” teriak Ayahku dari luar.
“Iya, Ayah, sebentar,” jawabku.
“Yuk, Bunda, Ayah udah tunggu, tuh,” ajakku.
“Ayo!” ucap bundaku semangat.
Jadi, di sinilah sekarang aku berada, di pesantren tercinta, Insan qur’ani. Ya, itu nama pesantrennya. menjadi santri, menuntut ilmu, dan senantiasa bertawakal kepada Allah Swt. dan suatu saat nanti aku harap, aku bisa meraih impianku. Menjadi penulis dan kuliah di universitas favoritku, Al-Azhar. Semenjak aku bersekolah di sini, aku banyak mengerti apa artinya sebuah kebersamaan, sama-sama merangkul jika ada yang bersedih, dan lain-lain. Terima kasih juga kepada ayah dan bunda, berkat kalian, aku bisa mengerti bagaimana definisi dari kata hidup yang sebenarnya.
Insan Qurani, 21 januari 2021
***
Nama : Tina faradisa
TTL : Banda Aceh, 10 Desember 2005
Alamat : Lamcot, Darul imarah, Aceh besar
Hobi : menulis, menyanyi, menonton
Media sosial : instagram, @tinafaradisa_
Nomor hp : 085260114533
Leave A Comment