Oleh: Amira Hafizha (Santri Madrasah Alliyah Dayah Insan Qur’ani)

Hening. Tenang. Sunyi.

Seperti gua tak berpenghuni nan malam gelap gulita.

Menyesal. Waktu tak pernah mengulang detiknya,penyesalan selalu datang di akhir kata.

 

Satu bulan yang lalu,

“Plak!”

Seketika suasana menjadi hening.terdiam,namun tak mengerti untuk apa itu.

“Kau?” Spontan wanita itu terkejut. Seakan-akan sedang terbangun dari mimpi buruknya.Lelaki itu masih tak menyangka dengan apa yang dilakukannya. Seorang gadis mungil yang menjadi saski dari kisah itu, tak mengerti dengan apa yang dihadapinya saat itu. Namun, ketakutan telah meluluhkan air matanya yang masih tak bercampur dengan noda.

Selalu, adegan tersebut selalu hadir namun tak pernah diundang.Lalu mereka akan menyebar tanpa aba-aba. Menjadi perbincangan hangat para tetangga dari mulut ke mulut.

“Cukup, kau telah menakuti putriku!” Sembari menenangkan gadis itu. Wanita itu segera menyuruh putrinya masuk ke kamarnya. Gadis itu hanya menurut sembari menangis ketakutan. Hingga ia tertidur pulas akibat kelelahan.

Matahari mulai menampakkan cahayanya. Burung-burung memainkan kicauannya. Wanita itu memasuki kamar putrinya, mengelus kepalanya seraya berkata,

“Shifa, sudah pagi, Nak. ayo bangun!” seru wanita itu. Benar, ia adalah sang ibu dari seorang anak yang mungil bernama Aishifa.

“Iya, Bu, ” sahutnya lembut.

“Segera siapkan barangmu, Nak. Kita akan menginap ke rumah nenek,” seru ibu.

“Oke, Bu,” sahut Shifa yang tak mengerti tentang semua itu.

Itu adalah terakhir kalinya Shifa berjumpa dengan sang ayah tercintanya.

Hari terus berlalu.

Kini umurnya telah memasuki umur 7 tahun. Ibu membawa Shifa ke sebuah pesantren yang selalu didambakannya itu.

“Kamu akan tenang disini nak.Belajarlah yang rajin,semangat nak”Nasehat itu selalu melekat didalam hati Shifa.

“Baik, Bu. Insya Allah Shifa akan jadi anak berbakti,” sahutnya.

Hari demi hari telah dilewatinya di sana. Kini ia telah mendapatkan dunia barunya. Dia tidak pernah berhadapan dengan masalah hidup yang selalu ditimpanya itu.

Di hari yang cerah, semua memancarkan senyum indahnya dengan semangat, begitu juga dengan Shifa.

“Assalamualaikum, ada Shifa?” tanya ustazah pada santriwati di asrama itu.

Ana Shifa ustazah.” Shifa mengangkat tangannya kebingungan.

“Ada telefon dari ibumu, Nak,” sahut sang ustazah sembari memberikan telefon genggam kecil kepadanya.

“Oh, baik, Ustazah,” sahutnya bangga.

Shifa segera mengangkat panggilan itu.

“Assalamualaikum, Bu,” sapa Shifa.

“Waalaikumsalam, Nak. Ayahmu akan datang ke sana, ibu mohon agar kamu tidak menjumpainya. Ayahmu itu berbahaya bagimu,” tegas sang ibu.

“Ayah?! tapi Shifa merindukannya,”sahut Shifa sedih.

“Ibu hanya tak ingin kamu menjumpainya! Mengerti?” tegas sang ibu.

“Baik, Bu.” Shifa mematikan teleponnya dengan pasrah.

Menit demi menit pun dilewatinya, panggilan kepadanya pun mulai terdengar berkali-kali. Shifa hanya termenung menahan air matanya. Ia melewati hari itu dengan kepedihan yang melanda.

Hari pun berganti, keesokan harinya ia mendapatkan telepon dari saudaranya secara mendadak.

“Assalamualaikum, Shifa.”

“Waalaikumsalam, Bunda. Kenapa, Bun?” tanyanya.

“Shifa, ayahmu telah menghadap kepada Tuhan, Nak.” jawabnya spontan penuh isak.

Shifa yang mengetahui hal ini langsung terjatuh lemas tak berdaya. Ia menangis sebisa-bisanya.

“Seandainya aku tak mendengar perkataan ibu kemarin, mungkin aku bisa memeluknya untuk terakhir kalinya.,” gumamnya penuh sesal dan sedih.

“Aku yakin, Allah yang telah menggerakkan hati ayah yang tiba-tiba ingin menjumpaiku, namun aku telah durhaka kepadanya,” gumamnya lagi.

Namun apa gunanya ia menyesali semua ini, semua telah berlalu dengan akhir yang tak pernah dinantikan. Penyesalan selalu datang terlambat.

 

Aneuk Batee, Oktober 2020

Nama:Amira hafizha

TTL  :Meulaboh,02 September 2004

Alamat:Aceh Barat,Meulaboh

Hobi            :Menulis,Membaca

Media sosial:IG@amrhfzha

Nomor HP   :-